Mengapa Karakter “Literally Me” Sangat Populer?
Sederhananya, karakter-karakter “Literally Me” memberikan kita rasa relatibilitas, sehingga kita tidak merasa sendirian di dunia yang jahat ini. Karakter-karakter seperti ini biasanya direpresentasikan sebagai orang yang berjuang untuk hidup, melawan monster yang ada pada dirinya termasuk kesepian, kehampaan dan juga mempertahankan kewarasan.
Belum lagi, trauma dan gangguan kesehatan mental yang harus dihadapi oleh karakter ini sehari-sehari yang mana berpengaruh pada kehidupan sosial baik itu pertemanan maupun romansa. Contohnya saja Travis Bickle yaitu karakter ikonik dari film Taxi Driver. Travis adalah veteran perang yang kesepian berjuang melawan kehampaan eksistensial yang dialaminya.
Dia mencoba untuk bersosialisasi dan membangun hubungan romansa dengan orang yang disukainya tapi tidak berhasil sehingga membuatnya tambah terpuruk dan lebih banyak menghabiskan waktunya sendirian. Seperti halnya kita ketika menghadapi rasa sakit yang amat dalam, pasti kita punya kegiatan untuk mengurangi rasa sakit tersebut dengan kegiatan tertentu. Dalam hal ini, Travis membenamkan dirinya pada alkohol dan melakukan pekerjaannya sebagai supir taxi pada malam hari.
Setiap orang memiliki titik puncaknya masing-masing dalam mengatasi penderitaan, jika seseorang terus mengalami kemalangan tersebut secara bertubi-tubi maka sabar akan menjadi hal asing baginya. Seperti travis yang mendekap dalam kehampaan begitu dalam sehingga dia berubah menjadi “monster” dan melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan. Kita mungkin bisa mengerti penderitaan Travis seperti kesepian, depresi, kecanggungan sosial karena dia tidak jauh berbeda dari kita.
Bukankah itu sangat terlihat seperti kita semua? Pria-pria kesepian yang hilang arah hidup, dengan trauma dan isu mental. Adanya hal seperti ini di media khususnya film dan sinema tentunya membuat kita senang, setidaknya kita bisa bersuara dan berekspresi melalui karakter-karakter ini. Kita sadar bahwa kita tidak berjuang sendirian, ada banyak orang lain yang juga merasakan hal yang sama.
Terkadang, mengetahui itu saja sudah terasa sangat menenangkan. Tapi, poin yang sebenarnya adalah tidak menjadi seperti mereka melainkan harus menjadi lebih baik dari mereka. Karakter-karakter tersebut sudah berusaha untuk keluar dari neraka itu namun tidak bisa sehingga mereka jatuh pada jurang yang lebih dalam. Dengan mengerti potensi akan kesuraman yang bisa terjadi, sebisa mungkin kita harus bisa keluar dari neraka tersebut, apapun itu yang sedang kita perjuangkan dan derita.
Sayangnya, banyak komunitas di internet atau media sosial mengambil hal tersebut diluar konteks, malah menganggap aksi-aksi buruk yang dilakukan karakter ini adalah keren. Karakter ini seharusnya menjadi pelajaran atau sarana katarsis untuk kita semua renungi bukannya panutan.
Whoever fights monsters should see to it that in the process he does not become a monster. And if you gaze long enough into an abyss, the abyss will gaze back into you. — Friedrich Nietzsche